MENJAGA EKISTENSI AL-QURAN

21‏/02‏/2011 ·

Al-qur'an sebagai kitab suci umat islam mempunyai beberapa disiplin ilmu, serta metode yang dapat digunakan dalam memahami teks al-quran tersebut, yang dengan metode itu lah akan menjadi satu tolak ukur di terima atau tidaknya pentafsiran ma'na lafad dalam al-quran, tidk semua orang bisa menafsirkan al-quran, walaupun al-quran itu sendiri bisa dipahami dengan bahasa arab serta dibantu dengan akal, namun hal tersebut belum cukup untuk untuk kita terima,oleh sebab itu, apabila seseorang menafsirkan al-quran dengan ra'yunya saja, tanpa melihat syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ulama terutama ulama-ulama tafsir, tentunya akan sangat berpotensi melakukan kesalahan di dalam memaknai suatu ayat. Hal ini dipertegas dengan hadist Nabi Saw" Man qola fi kitabillahi ta'ala bi ra'yihi fa ashaba faqad akhtha'a"( HR Abu Daud dan Termidzi).

Kita tahu, disetiap disiplin ilmu tentunya akan mempunyai prosedur serta metodologi yang digunakan dalam meneliti objek yang akan dikajinya, tak terkecuali dengan ilmu tafsir (ilmu untuk memahami sluruh isi kandungan al-qur'an) yang keberadaannya sebagai pentafsir( penjelas) dari maksud kalamullah, sehingga tidak berhak bagi setiap manusia memahami taks kitab tersebut dengan kapasitas ilmu yang terbatas,akan tetapi harus dengan prosedur yang ditempuh oleh seorang mufassir dalam menafsirkan al-quran yang dapat kita katakan dengan 4 sehat 5 sempurna yang insyaallah akan kita dapatkan dibawah ini"
Tafsir al-quran bil al-quran, tafsir al-qurab bil hadist, tafsir al-quran bil aqwali shahabah, tafsir al-quran bil aqwali at-tabi'in dan tafsir al-quran bil ra'yi para jumhur ulama bersepakat dengan lima prosedur di atas, walaupun tentunya ada beberapa ulama yang menyayangkan legelitas tafsir bil ra'yi akan tetapi pendapat jumhur lebih kuat dengan catatan apabila pentafsiran bil ra'yu tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash yang sharih dan hadist yang shahih.
Setelah seseorang mengetahui prosedur serta metodologi dalam pentafsiran al-quran, maka bagi seorang mufassir harus mengeksplorasikan 5 hal ini secara berurutan dalam rangka mencari makna dari suatu ayat, artinya, tidak dibolehkan bagi seseorang menafsirkan satu ayat al-quran dengan langsung menggunakan al-ra'yu ( akalnya ) tanpa berusaha mencari maknanya terlebih dahulu di ayat lainnya,kemudian jika tidak didapatkan, mencarinya di hadist Nabi, aqwali sahabat dan seterusnya,

Deviasi (penyimpangan) penafsiran al-quran di masa duhulu dan sekarang.

Setelah meninggalnya rasulallah riak- riak perpecahan umat islam semakin menjadi tepatnya pada abad 2 H yang memunculkan beberapa kelompok islam, baik dalam bidang politik maupun aqidah, hal ini yang banyak menimbulkan deviasi dalam menafsirkan al-quran yang dilakukan oleh golongan Khawarij, Syiah, Muktajilah. Fakta ini masih bias kita rasakan sampai saat ini dengan banyaknya hadist maudhui / munkar yang berseleweran , penafsiran al-quran yang serampangan, mereka berusaha mati - matian menjadikan al-quran dan hadist sebagai alat memperkuat ideologi pemikirannya,sehingga banyak menimbulkan keresahan umat pada saat itu.
Dewasa ini, kita juga banyak mendapatkan penafsiran al-quran yang jauh dari nilai- nilai agama yang murni, namun mengarah kepada kesesatan yang nyata, yang di lancarkan oleh sekelompok yang menamakan dirinya Jil ( jaringan islam / iblis liberal ) atau dari kelompok ekstrim yang memahami al-quran dan hadist secara leterleg
Tanpa melihat syarah serta pendapat para jumhur ulama terlebih dahulu. Hal ini ternyata cerminan keadaan umat islam zaman dahulu yang banyak melakukan deviasi penafsiran al-quran dan hadist untuk menguatkan mazhab mereka masing-masing, walaupun argument mereka dalam menafsirkan terbantahkan oleh hadist shahih dan dari segi bahasa arab itu sendiri. Misalnya muktazilah dalam menafsirkan surat al- Qiyamah ayat 23, mereka dalam mengartikan lafad nadzirah dengan ma'na "menunggu" tidak dengan ma'na "melihat" hal ini di ungkapkan oleh Doctor Muhamad Husein Dzahabi di dalam kitabnya Tafsir Wal Mufassirun. Kemudian pendapat muktajilah tersebut, di bantah juga oleh imam al- Qurthubi, beliau mengatakan" Bahwa nadzirah ila dalam bahasa arab hanya berarti" melihat kepada sesuatu" ditambah dalil dari hadist shahih dan aqwali sahabat yang mengatakan bahwa "melihat Allah swt di surga itu benar" Meski begitu. Muktazilah bersikeras bahwa "Allah swt tidak mungkin bisa dilihat di surga'' seraya mereka mengklaim bahwa hadist-hadist yang menyebutkan ru'yatullah adalah lemah. Hal ini tidak lah aneh apabila kita melihat dan menelusuri metode pengambilan hukum mereka yang menempatkan akal di atas segala-galanya walaupun hal tersebut bertentangan dengan nash qath'i.
Lain halnya dengan Khawarij, mereka berpendapat" Bahwa seseorang yang melakukan dosa besar pasti akan masuk neraka" dengan melihat surat al- Taghabun ayat 2 mereka memaknai secara leterleg tanpa melihat permesalahan secara komperensif, dengan melihat ayat-ayat lain yang berbicara dalam hal ini atau melihat hadist dan aqwali sahabat tentang ayat tersebut. Sehingga mereka tidak gegabah mengklem orang yang fasik itu termasuk golongan orang kafir, yang pasti akan masuk neraka.
Seperti itulah gambaran deviasi penafsiran al-quran pada zaman itu, semuanya itu berujung kepada latar belakang seorang mufassir,mana kalah ia seorang mufassir dari kelompok Muktazilah, maka ia akan mengedepankan akal dalam menafsirkan al-quran dan berusaha mewarnai pentafsirannya dengan pola piker mazhab yang dianautnya , begitu juga, apabila seorang mufassirnya dari kelompok Khawariz dan Syiah tentunya mereka akan menggunakan metodologi penafsiran dari kelompok mazhab mereka masing-masing .
Adapun pada masa kini, hanya ada beberapa model baru dalam deviasi penafsiran al-quran, dan yang selebihnya adalah hanya pengulangan masa lalu. Menurut hemat penulis, penafsiran al-quran yang menyimpang beberapa dekade sekarang ini seperti" Pluarisme Agama, Sekularisme dan Liberalisme bermuara dan berkumpul pada satu metode" Hermenetika.
Lalu ada apa dengan hermenetika sehingga keberadaannya sangat berbahaya sekali apabila di gunakan dalam menafsirkan al-quran? Konon hermenetika adalah suatu metode penafsiran kaum Nasrani dalam mengkaji dan memahami Bible. Hal ini tentu sangat disayangkan apabila pemahaman hermenetika ini di aplikasihkan kedalam penafsiran al-quran tentu akan berseberangan, karena al-quran telah mempunyai metode dalam menafsirkan sendiri yaitu 4 sehat 5 sempurna yang sebagaimana telah disebutkan di atas. Namun apabila metode hermenetika tetap di paksakan untuk menafsirkan al-quran tentunya kita akan menyamakan al-quran dengan Bible yang telah kita yakini telah terjadi tahrif (perubahan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia ) hal ini tentu sangat berbahaya sekali sebagaimana telah di ungkapkan oleh Prof DR Mudjia Raharjo dalam bukunya " Dasar-dasar Hermeneutika" beliau mangatakan" Menggunakan hermeneutika pada al-quran bisa berimplikasih mensejajarkan al-quran dengan teks-teks buatan manusia yang terbatas. Kemudian Pro DR Hamadi B.Husein, dalam bukunya " Dekonstruksi Pemikiran Islam Liberal " Beliau mengatakan" Secara umum hermeneutika mempunyai 4 tahapan pendekatan dalam menafsirkan suatu teks yaitu"
1. Mencoba mengenali diri penafsirdengan segala latar belakang sosiologis,psiologis dan kultural, agar bias meminimalisasi subyektivitas penafsir.
2. Melihatnya secara histories dan kontekstual.
3. Mencari esensi-esensi ( maqhasid)nya.
4. Menyesuaikan dengan tantangan zaman.
Secara kasat mata 4 tahapan di atas memang bagus, tidak ada yang salah. Namun stelah kita mlihat penafsiran yang di hasilkan oleh metode ini, kta tentunya akan merasa aneh, sepertinya penafsiran ini ada yang salah. Misalnya kaum liberal yang begitu antusiasi sekali dengan penafsiran metode ini beranggapan miras (khamar) tidak lgi haram untuk saat ini, apalagi bagi daerah-daerah yang beriklim dingin, dengan alasan bahwa jazirah Arab beriklim panas. Padahal jelas, bahwa di arab juga ada saatnya beriklim dingin yang jatuh pada bulan 12- 1 -2- dan 3.Contoh lain paling terkini adalah disertasi Abdul Muqsith di UIN Syarif Hidayatulla Jakarta yang berjudul" Argumen Pluralisme Agama " Dalam disertasi ini, si Muqsith menurut hemat penulis terlalu terkesan sembrono dalam menafsirkan haramnya pernikahan dengan orang musyrik pada sutar al- Baqarah ayat 221 adalah bersifat politis, yaitu bahwa pada saat itu kaum musyrikin selalu menyerang Nabi Saw, dan para pengikutnya. Maka pada saat ketegangan antara umat islam dan kaum musyrik telah berakhir, bisa saja konsekuensi hukum yang melarang umat islam menikah dengan orang musyrik bias berubah menjadi di perbolehkan.
Inilah cerminan orang-orang yang tidak memempuni memahami ilmu al-quran dan hadist yang shaheh sehingga jatuh kepada kehinaan dan masuk kepada jurang api neraka jahanam, atau mereka melakukan hal tersebut karena ada dorongan dalam dirinya yang menginginkan legalitas pluralisme agama dengan mengganti hukum-hukum Allah Swt dengan kenikmatan dunia yang semata.




0 comments:

إرسال تعليق

About Me

صورتي
Hi Guys.. Salam kenal dari ane. Orang Misterius yang telah hadir di tengah-tengah kehidupan kalian, pada hari senin tepatnya di daerah Bekasi, dengan hobi engga betah tinggal dirumah, serta lebih suka makan di rumah orang lain hehe. Adapun hal yang paling di benci dlm hdup menunggu sesuatu yang g pasti dan duduk berdampingan dgn org yg merokok.

Discus With Me

Silaturahmi

  
 
Top

PESONA MESIR | Copyright © 2011 All right reserved.
Black Eleganisme Blogger Template | Designed By Serba Blog